Yogyakarta,Metro News Indonesia
Berbicara mengenai demo yang belakangan sangat marak, bahkan beritanya hampir tiap detik menghiasi layar kaca dan media cetak lainnya. Seharusnya hal itu bisa memuka mata para produser dan sineas Indonesia. Kok, bisa? Adalah Dr H Shofiyullah Muzammil M.Ag, dosen UIN Kalijaga Yogjakarta, yang mengemukakan hal itu saat bincang-bincang dengan wartawan Global Post di Yogyakarta, belum lama ini. Bahkan, sang dosen tampak sangat serisu dengan gagasannya itu. Padahal, Shofiyullah paham betul soal menghitung hari ketentuan dan kebijakan pemerintah mengenai kenaikan BBM yang masih tarik ulur, dan akhirnya kenaikannya diundur, yang tentu masih menyiratkan rasa was - was bagi rakyat Indonesia.Ironis, memang! Isu yang berkepanjangan soal BBM ini, masih menuai pemahaman yang pro dan kontra di kalangan elit politik yang duduk di kursi panas. “Bayangkan saja, belakangan aksi demo yang hampir merata bergejolak di hampir semua daerah, ujung –ujungnya berakhir bentrok dan anarkis. Berita di media elektronik maupun cetak yang meliput bentrok antara aparat keamanan dan para pendemo, sudah layaknya sebuah adegan film yang jadi tontonan sehari-hari bagi masyarakat,” urai dosen UIN Kalijaga Yogyakarta itu.
Sayangnya, menurut Shofiyullah, para sineas film dan produser, belum banyak yang mengambil tema sosial politik, atau potensi - potensi sumber daya alam dan manusia untuk diangkat lebih mengena dalam sebuah film cerita yang enak ditonton.
Industri film kita masih banyak yang adopsi dari bollywood. Apalagi beberapa perusahaan film India seperti MD, Multivision dan perusahaan film lainnya. Sinetron atau film yang diproduksinya tidak jauh dari konflik rumah tangga, kawin cerai, dan sangat tidak mendidik,” ungkap Shofiyullah.
Padahal, isu sosial di masyarakat maupun potensi-potensi sumber daya alam dan manusia sangat luar biasa dan bila diangkat ke sebuah frame yang beralur entertainment dan memiliki unsur pesan moral, jelas mendapat respon postif dari penonton.
“Apalagi saat sekarang ini, terutama warga negara Indonesia, masih sangat membutuhkan media informasi yang dapat membidik angle potret masyarakat Indonesia yang sekarang ini boleh dibilang kronis dan mendekati akut,” tandasnya.
Yogyakarta, Global Post – Berbicara mengenai demo yang belakangan sangat marak, bahkan beritanya hampir tiap detik menghiasi layar kaca dan media cetak lainnya. Seharusnya hal itu bisa memuka mata para produser dan sineas Indonesia. Kok, bisa?
Adalah Dr H Shofiyullah Muzammil M.Ag, dosen UIN Kalijaga Yogjakarta, yang mengemukakan hal itu saat bincang-bincang dengan wartawan Global Post di Yogyakarta, belum lama ini. Bahkan, sang dosen tampak sangat serisu dengan gagasannya itu.
Padahal, Shofiyullah paham betul soal menghitung hari ketentuan dan kebijakan pemerintah mengenai kenaikan BBM yang masih tarik ulur, dan akhirnya kenaikannya diundur, yang tentu masih menyiratkan rasa was - was bagi rakyat Indonesia.
Ironis, memang! Isu yang berkepanjangan soal BBM ini, masih menuai pemahaman yang pro dan kontra di kalangan elit politik yang duduk di kursi panas.
“Bayangkan saja, belakangan aksi demo yang hampir merata bergejolak di hampir semua daerah, ujung –ujungnya berakhir bentrok dan anarkis. Berita di media elektronik maupun cetak yang meliput bentrok antara aparat keamanan dan para pendemo, sudah layaknya sebuah adegan film yang jadi tontonan sehari-hari bagi masyarakat,” urai dosen UIN Kalijaga Yogyakarta itu.
Sayangnya, menurut Shofiyullah, para sineas film dan produser, belum banyak yang mengambil tema sosial politik, atau potensi - potensi sumber daya alam dan manusia untuk diangkat lebih mengena dalam sebuah film cerita yang enak ditonton.
Industri film kita masih banyak yang adopsi dari bollywood. Apalagi beberapa perusahaan film India seperti MD, Multivision dan perusahaan film lainnya. Sinetron atau film yang diproduksinya tidak jauh dari konflik rumah tangga, kawin cerai, dan sangat tidak mendidik,” ungkap Shofiyullah.
Padahal, isu sosial di masyarakat maupun potensi-potensi sumber daya alam dan manusia sangat luar biasa dan bila diangkat ke sebuah frame yang beralur entertainment dan memiliki unsur pesan moral, jelas mendapat respon postif dari penonton.
“Apalagi saat sekarang ini, terutama warga negara Indonesia, masih sangat membutuhkan media informasi yang dapat membidik angle potret masyarakat Indonesia yang sekarang ini boleh dibilang kronis dan mendekati akut,” tandasnya.
Menurut Shofiyullah, sinetron ataupun film yang lagi trend saat ini, terutama dunia televisi dan film, hanya mengutamakan sisi komersilnya. “Bukan pada konten masalahnya, akhirnya industri kreatif kita sudah seperti mati suri,” ujarnya.
Bahkan, kata Shofiyullah yang sering diskusi dengan para sineas, mereka banyak yang mengeluh, karena kurangnya perhatian dan dukungan dari pemerintah sangat kecil sekali. Dia mencontohkan, PFN (Pusat film Negara) dan TVRI, saat ini nyaris tidak terdengar lagi gaungnya.
Shofiyullah menilai, peran serta pemerintah untuk menggalakkan industri kreatif dan seni, belakangan sudah tak lagi banyak dilirik untuk dibenahi. “Para elit negeri ini lebih berminat dan sibuk untuk menjadi selebritis di partai politiknya alias mengutamakan kepentingannya sendiri,” pungkasnya. (Rudi-73)
0 komentar:
Posting Komentar